Kamis, 27 Oktober 2011

Terites dalam Sosiologis

MAKNA MAKANAN KHAS KARO SECARA SOSIOLOGIS
“TERITES”
O
L
E
H
SALMEN SEMBIRING
080901054

DEPARTEMEN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN


2010

Kata Pengantar
Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat kasihnya penulis telah dapat menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa juga penulis ucapkan terima kasih kepada dosen pengasuh mata kuliah sosiologi kesehatan yang telah mengajarkan banyak pengetahuan dan juga kepada teman-teman yang turut membantu.
Makalah ini berjudul “kajian sosiologis terhadap makanan khas Karo “terites”. Dalam makalah ini banyak dibahas seputar makanan khas tersebut mulai dari cara, bahan, kegunaan, makna dari makanan tersebut bagi Suku Karo. Di bagian berikutnya dibahas tentang makanan tersebut dengan teori-teori sosiologi.
Penulis memahami masih banyak kekurangan dari makalah ini, oleh karenanya penulis juga mengharapkan saran dan masukan dari pembaca makalah ini. Kiranya makalah ini dapat berguna bagi pembaca sekalian khususnya sivitas akademik yang mengambil mata kuliah sosiologi kesehatan.



Medan, April 2010


Penulis .




Daftar Isi
Bab I. Pendahuluan………………………………………………………………………….
I.1 Konsep Makanan…………………………………………………………………………
I.2 Gambaran Sosial Budaya Karo………………………………………………………….
I.3 Makanan pada Suku Karo……………………………………………………………….
I.4 Tujuan
Bab II. Pembahasan………………………………………………………………………….
II.1 Deskripsi Terites…………………………………………………………………………
II.2 Teori-teori Sosiologi……………………………………………………………………...
II.3 Makanan Terites dalam Kajian Sosiologis……………………………………………..
Bab III. Penutup………………………………………………………………………………
Daftar Pustaka…………………………………………………………………………………









BAB I
PENDAHULUAN
Kosep Makanan
Kebutuhan manusia akan makan dan minum merupakan keharusan untuk melangsungkan kehidupan. Namun ketika ditinjau secara mendalam makan tersebut bukan hanya tuntutan biologis semata namun ada faktor lain yang mendorong terwujudnya suatu makanan dan minuman. Setiap manusia normal akan menentukan bahan-bahan makanan terutama yang tersedia di lingkungan fisiknya guna konsumsi. Konsep makanan dan minuman tersebut sudah ada pada pikiran masing-masing orang karena merupakan bagian dari budaya.
Makanan secara sederhana dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang dapat dimakan untuk proses metabolisma tubuh. Makanan juga dapat diartikan sebagai bahan baik yang berasal dari tumbuhan maupun hewan yang dimakan oleh makhluk hidup untuk memberikan tenaga dan nutrisi. Makanan manusia biasanya didapatkan dari hasil bertani dan beternak yang meliputi hewan dan tumbuhan. Makanan manusia dari tumbuh-tumbuhan seperti buah, sayur-sayuran, biji-bijian, dan bumbu-bumbuan. Sedang dari hewani dapat berupa daging dan susu dan produk jadinya yang lain.
Setiap makhluk hidup membutuhkan makanan. Tanpa makanan, makhlik hidup akan sulit dalam mengerjakan aktivitasnya. Makanan dapat membantu memberikan energi, membantu pertumbuhan dan perkembangan. Makanan juga memiliki nutrisi tersendiri dan juga makna tersendiri bagi setiap masyarakat. Secara ilmu gizi makanan secara pengelompokan dapat dibagi ke dalam tiga bagian besar yakni karbohidrat sebagai sumber energi, protein untuk pertumbuhan dan lemak sebagai cadangan energi.
Secara sosiologis makanan juga dibagi ke dalam beberapa jenis antara lain:
1. Makanan dan bukan makanan(faktor budaya)
2. Makanan dari sudut gizi( bersih dan kotor)
3. Makanan dilihat dari unsur( panas atau dingin)
4. Makanan sebagai obat dan obat sebagai makanan yang harus dimakan
5. Makanan status.
Gambaran Sosial Budaya Karo
Suku Karo adalah suku yang mendiami dataran tinggi dan dataran rendah di Sumatera Utara. Suku Karo tersebar di Dataran Tinggi Karo(Kabupaten Karo), Karo Baluren( Dairi), Simalungun Atas( sebagian), Langkat, Deli Hulu( Deli Serdang), Medan, Binjai, Aceh Tenggara dan lainnya. Suku Karo memiliki bahasa tersendiri yakni bahasa Karo. Setiap orang dalam Suku Karo terikat oleh sistem adat yang disebut dengan merga silima, rakut si telu dan tutur si waluh. Jadi dimanapun mereka berada pasti memiliki marga, dan jalan persaudaraan tersendiri.
Kehidupan mereka umumnya dari sektor agraris atau pertanian dan ada juga peterenakan. Pertanian meliputi tanaman pangan, sayur dan buah ada juga tanaman perkebunan di Kabupaten Deli Serdang dan Langkat. Peternakan biasanya dikelola sebagai pekerjaan sampingan namun ada juga peternakan besar di Kabupaten Karo(Mbal-Mbal Petarum). Peternakan tersebut berupa ayam, lembu, kambing, babi, dan kerbau.
Suku Karo sebelum kedatangan agama-agama ke Indonesia adalah penganut animism namun ada juga yang mengatakan politeisme yakni memiliki tiga Tuhan. Ketiga Tuhan tersebut adalah Dibata Guru Ni Datas( Allah penguasa atas/awal), Dibata Banua Koling(menguasai dunia tengah-bumi dan manusia) dan Dibata Padukah Aji( Allah penguasa bawah/akhir). Agama yang pertama adalah agama perbegu kemudian dengan datangnya agama Hindhu diubah namanya menjadi agama pemena. Setelah itu datang agama Islam dan Kristen, sekarang mayoritas penduduk Karo telah beragama Kristen Protestan.
Masyarakat Karo memiliki budaya yang unik dalam seni dan budaya termasuk benda-banda kebudayaannyya. Setiap seni memiliki nilai mistis dan makna tersendiri, juga dalam setiap karya memiliki nilai mistis dan makna tersendiri. Beragam corak hias dengan nilai mistis seperti penolak marabahaya, pendatang rejeki, pendamaian dan sebagainya. Alat-alat pertaniannya seperti cangkol, cuan, sabi-sabi, garu dan sebagainya. Sedangkan alat masak dan makannya adalah seperti kudin gelang-gelang(periuk kuningan), kudin taneh(periuk dari tanah liat), capah(tempat makan bersama), ukat(sendok dari bambu) dan banyak lainnya. Alat musiknya disebut dengan gendang lima sendalanen(gong, gendang kecil, sarune) juga ada kulcapi, keteng-keteng dan sebagainya.
Makanan dalam Suku Karo
Pada Suku Karo secara garis besar makanan dapat di bagi ke dalam dua bagian besar yakni makanan sehari-hari dan makanan khusus. Makanan sehari-hari adalah makanan yang setiap harinya dikonsumsi oleh mereka, sedangkan makanan secara khusus adalah makanan yang hanya ada pada saat-saat tertentu saja baru ada.
Makanan sehari-hari suku Karo hampir sama dengan makanan suku lainnya di Indonesia. Makanan pokoknya adalah beras, ditambah lauk-pauk yang dalam bahasa Karo disebut dengan ikan ras gulen(ikan dan sayur). Secara singkat makanan khusus tersebut dapat berupa cimpa dan ragamnya, rires(lemang), terites, cipera, tasak telu, kidu, tape(i), cingcang, daging tutung(panggang) dan lain sebagainya.
Biasanya setiap makanan khusus tersebut disajikan dalam acara-acara khusus suku Karo. Dalam bagian ini akan dijelaskan beberapa antara lain:
• Kerja Tahun(pesta tahunan) biasanya menyajikan cimpa, lemang, beragam masakan daging, tape, terites atau disebut juga pagit-pagit.
• Kerja nereh empo(pesta perkawinan) biasanya menyajikan daging, cingcang dan kadang juga terites.
• Mbesur-mbesuri( pesta untuk syukuran ketika padi mau berbuah dan ketika seorang ibu hamil) biasanya disajikan beragam cimpa, cipera, tasak telu dan pola(nira).
• Erpangir(mandi buang sial) biasanya menyajikan tasak telu, cipera dan pola.
• Perumah begu(memanggil arwah) biasanya menyajikan tasak telu, beragam cimpa, dan cipera.
• Mengket Rumah Mbaru (masuk rumah baru) biasanya menyajikan cimpa, pisang, makanan dari daging kadang juga menyajikan terites jika memotong lembu.
Masih banyak acara khusus dalam suku Karo yang menyajikan makanan khas Karo tersebut. Ada juga makanan yang dikonsumsi sehari-hari yang agaknya aneh seperti laba-laba sawah, ulat pohon rumbia, cibet(metamorfosa dari capung) dan banyak makanan aneh lainnya.
Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah menganalisis makna makanan”terites” bagi suku Karo dengan analisis sosiologi.
















BAB II
PEMBAHASAN
Deskripsi Terites
Suku Karo memang memiliki sedikit keanehan dalam hal makanan. Banyak makanan yang dianggap jijik bagi suku lain merupakan makanan favorit di kalangan orang Karo. Sebut saja misalnya laba-laba( lawah-lawah) yang di dapat di persawahan mereka konsumsi. Juga kidu atau ulat dari pohon rumbia yang kadang dimakan mentah-mentah, orang karo juga memakan anjing tanah( singke) yang di persawahan. Mungkin yang disebutkan itu hanyalah baru beberapa makanan aneh dalam Suku Karo dan pastinya masih banyak makanan lainnya.
Dalam makalah ini yang dibahas adalah “terites”, sejenis makanan yang bahan dasarnya secara kasar adalah makanan lembu yang telah berada dalam usus lembu. Terites atau sebagian masyarakat lain lebih mengenalnya dengan sebutan pagit-pagit merupakan salah satu makanan yang menurut suku lain adalah hal yang aneh dan mungkin menjijikkan. Terites tersebut diambil dari lambung kedua sapi( lembu dalam masyarakat Karo) dalam istilah biologinya dikenal dengan istilah rumen namun dalam orang Karo disebut tuka si peduaken(usus nomor dua). Kata pagit-pagit sendiri berarti ‘yang pahit-pahit’ adalah padanan kata yang paling cocok.
Secara singkat deskripsi biologis terites adalah sebagai berikut, sapi atau lembu adalah sejenis mamalia yang memamah biak yang mana mengunyah makanan sebanyak dua kali sebelum menjadi kotoran sebenarnya(feces). Makanan yang telah dikunyah pertama oleh lembu masuk ke reticulum lembu. Ketika lembu nantinya istirahat maka makanan yang dari reticulum tersebut dikunyah kembali oleh lembu di mulutnya kemudian dimasukkan ke perut ke dua yang disebut rumen. Dalam rumen inilah berbagai enzim pencernaan lembu bercampur dengan makanannya jadi sari makanan, nutrisi, enzim pencernaan masih banyak disini karena disini hanya pencampuran. Sedangkan penyerapan ada di usus ketiga(usus halus) dan kotoran aslinya ada di usus nomor empat. Terites sendiri diambil dari usus kedua jadi secara biologis memungkinkan banyak terdapat nutrisi, enzim disana, bukan kotoran yang sebenarnya seperti yang diperbincangkan banyak orang selama ini. Namun dalam hal ini terites tersebut tidaklah dianalisis secara ilmu gizi atau biologi tapi secara sosiologi, yakni makna dari terites itu sendiri bagi masyarakat Karo.
Terites adalah makanan yang dimasak dengan beragam bumbu secara Suku Karo. Seperti asal katanya yakni pagit berarti pahit, rasanya memang agak sedikit cenderung ke pahit karena bahannya sari rumput dari usus lembu dan juga bumbu lain yang umumnya terasa pahit juga. Terites ini memiliki bahan dasar sari( perasan air) dari usus lembu tersebut, bungke yang banyak(rimbang), sere, daun ubi, asam yang banyak, jahe, cingkam( kulit kayu hutan yang rasanya juga pahit) dan bulung-bulung kerangen( sejenis daun-daun kayu hutan yang banyak ragamnya tapi memang untuk dikonsumsi). Terites sendiri dimasak minimal selama tiga jam dalam api kadang dimasak sampai enam jam. Terites ini juga dicampur dengan babat, kikil dan daging dari lembu tersebut ketika dimasak.
Namun ada juga masyarakat Karo yang membuat terites tidak hanya dari lembu saja tapi dari kambing dan kerbau juga. Ketiga makhluk tersebut memang sama dalam proses pencernaannya. Tapi yang paling sering dibuat menjadi tersites adalah dari lembu atau sapi. Orang luar banyak menyebut terites ini dengan sebutan soto Karo karena memang mirip dengan soto. Tapi sedikit berbeda dengan rasa dan aroma, terites ini didominasi oleh aroma sari dari uusus lembu tersebut.
Kapankah terites tersebut sering dijumpai dalam masyarakat Karo? Dari beberapa sumber yang didapat terites ini tidak dapat ditemukan setiap hari dirumah-rumah warga. Hanya pada hari-hari tertentu saja makanan tersebut dapat ditemukan. Namun sekarang telah banyak rumah makan Karo yang menyajikan menu terites tersebut. Akan tetapi sesungguhnya terites tersebut dijumpai hanya pada hari-hari istimewa bagi suku Karo. Misalnya dalam Kerja Merdang Merdem atau Kerja Tahun( pesta tahunan dalam masyarakat Karo) makanan tersebut mudah didapatkan. Juga dalam kerja nereh empo(pesta perkawinan) makanan tersebut juga menjadi menu utama.
Beragam makna makan terites juga ada dalam masyarakat Karo. Makna tersebut ada yang berupa mitos dan ada juga yang berupa fakta. Tapi manfaat tersebut bukanlah bagian dari analisis ini melainkan menganalisis secara sosiologis tentang makna tersebut. Misalnya bagaimana mereka dapat mempercayai itu memiliki makna tersendiri bagi mereka(individu maupun kolektif).
Bagi masyarakat Karo sendiri ada beberapa makna dari makanan terites tersebut antara lain secara garis besarnya adalah makanan sebagai obat, makanan sebagai budaya (makanan dan bukan makanan). Secara makanan sebagai obat masyarakat Karo mempercayai terites tersebut dapat mengobati berbagai macam penyakit, antara lain:
 Penyakit maag, hal ini mereka percayai dari sumber bahannya yakni sari makanan lembu yang telah mengandung berbagai komponen makanan yang dibutuhkan.
 Masuk angin
 Peningkat nafsu makan
Sedangkan sebagai makanan budaya, terites tidak mudah didapatkan untuk konsumsi sehari-hari, namun hanya pada saat-saat tertentu saja. Makanan terites akan mudah dijumpai pada saat hari-hari yang menyenangkan seperti:
• Kerja Tahun/Merdang Merdem( pesta tahunan) dimana semua keluarga yang berada jauh berkumpul untuk syukuran atas panen(dulu padi) tapi sekarang berbagai usaha.
• Kerja Erdemu Bayu(pesta perkawinan) dalam hal ini juga keluarga besar dari kedua belah pihak berkumpul untuk melangsungkan pesta adat tersebut.
Namun sekarang ada juga rumah makan khas Karo yang menyajikan terites. Tapi itu merupakan diluar daripada analisis ini. Lagipula belum tentu bahan yang digunakan selengkap yang dibuat ketika acara-acara tersebut. Dan mungkin juga makna terites dalam rumah makan tersebut bukan lagi memiliki makna sebagai obat secara tradisional atau memiliki makna budaya melainkan terites sebagai konsumsi sehari-hari.
Teori-teori Sosiologi
Untuk menganalisis makna terites bagi masyarakat Karo maka digunakan beberapa teori sosiologi diantaranya teori kepercayaan, teori pertukaran dan teori pilihan rasional yang akan diuraikan satu per satu.
Teori kepercayaan
Intisari kerja dari suatu keanggotaan kelompok adalah saling percaya yang didasarkan atas pertukaran informasi. Penerimaan suatu informasi umumnya dipengaruhi oleh latar belakang penerima informasi tersebut misalnya komunikator adalah disenangi atau dicurigai. Kepercayaan kelompok yang besar akan mempunyai sistem komunikasi yang lebih terbuka. Karena banyaknya komunikasi juga akan mempengaruhi derajat kepercayaan dalam kelompok.
Secara terminologi sendiri kata kepercayaan lebih tepat padanan katanya dengan trust. Definisi trust sendiri adalah yakin pada atau percaya atas beberapa kualitas atau atribut seesuatu atau kebenaran suatu pernyataan. Torsvik( dalam Damsar) menyebutkan kepercayaan merupakan kecenderungan perilaku tertentu yang dapat mengurangi risiko yang muncul dari perilakunya. Sedang menurut Gidddens( dalam Damsar) menyebutkan bahwa kepercayaan adalah keterikatan, bukan terhadap risiko melainkan pada berbagai kemungkinan. Kepercayaan selalu mengandung konotasi keyakinan ditengah-tengah berbagai akibat yang serba mungkin, apakah dia berhubungan dengan tindakan individu atau dengan beroperasinya system. Dugaan keyakinan biasanya melibatkan kebaikan atau penghhargaan dan cinta kasih. Jadi kepercayaan secara psykologis mengandung konsekuensi bagi individu yang percaya atau menjadi sandera moral.
Menurut Giddens kepercayaan itu adalah keyakinan akan reliabilitas seseorang atau system, terkait berbagai hasil atau peristiwa, dimana keyakinan itu mengekspresikan suatu iman terhadap integritas atau cinta kasih orang lain, atau terhadap ketepatan prinsip abstrak( pengetahuan teknis).
Komunitas masyarakat lokal memberikan lingkungan yang begitu baik bagi tumbuh kembangnya kepercayaan dalam masyarakat. Menururt Giddens, komunitas masyarakat lokal tidak dikaitkan dengan romantissme budaya, tapi lebih kepada arti penting dari relasi lokal yang diatur dalam konteks tempat dimana tempat belum ditransformasi oleh relasi ruang dan waktu yang berjarak. Oleh karenanya komunitas local sebagai tempat yang menyediakan suatu hubungan yang bersahabat. Kosmologi religius merupakan bentuk kepercayaan dan praktik ritual yang menyediakan interpretasi providensial atas kehidupan dan alam. Kosmologis religius menyediakan interpretasi moral dan praktik bagi kehidupan pribadi dan bagi dunia alam yang mempresentasikan lingkungan yang aman bagi pemeluknya.
Tradisi juga dapat menjadi lingkungan yang baik bagi perkembangan kepercayaan masyarakat. Tradisi merupakan sarana untuk mengaitkan masa kini dengan masa depan, berorientasi pada masa lampau dan waktu yang dapat berulang. Tradisi merupakan suatu rutinitas. Namun, tradisi adalah rutinitas yang penuh makna secara intrinsic, disbanding dengan perilaku kosong yang hanya berorientasi pada kebiasaan semata. Makna aktivitas rutin berada dalam penghormatan atau pemujaan yang melekat dalam tradisi dan dalam kaitan antara tradisi dan ritual.
Tradisi keluarga yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui sosialisasi menguatkan hubungan kekerabatan, komunitas masyarakat local, dan kosmologi religius sebagai lingkungan bagi pertumbuhan kepercayaan masyarakat. Keluarga sebagai lingkungan utama yang memberikan tempat tumbuh kembangnya kepercayaan di antara sesama anggota keluarga. Hubungan tersebut menjadi kekuatan dalam membangun tujuan dari kalangan masyarakat. Hubungan dari luar hal tersebut membangun hubungan social yang dibina melalui interaksi social.
Menurut Giddens ada tiga lingkungan yang dapat menimbulkan kepercayaan yakni system abstrak, relasi personal, dan orientasi masa depan. System abstrak merupakan mekanisme institusional yang mencabut hubungan-hubungan social dari konteks local dan perubahan hubungan-hubungan tersebut menuju rentang ruang dan waktu yang tidak terbatas melalui alat simbolis. Alat simbolis merupakan sarana pertukaran yang dapat diedarkan pada waktu dan tempat tertentu. Relasi personal menjadi tempat berkembangnya kepercayaan dalam masyarakat. Kepercayaan terhadap orang terkait dengan relasi personal dalam komunitas local dan jaringan kekerabatan. Sedangkan dalam orientasi masa depan berupa pemikiran kontra-faktual sebagai bentuk keterkaitan masa lalu dan masa kini dapat menjadi lingkungan kepercayaan pada masyarakat.
Kepercayaan umumnya dikaitkan dengan keterebatasan perkiraan dan ketidakpastian yang berkenaan dengan perilaku orang lain dan motif mereka( Gambetta dalam Damsar). Setiap orang memiliki keterbatasan dalam memperkirakan sesuatu, untuk mengatasinya maka ia harus mengadakan hubungan dengan orang lain. Luhhman memandang bahwa kepercayaan merupakan suatu cara yang terpenting dari orientasi manusia terhadap dunia. Kepercayaan adalah suatu mekanisme yang ada di setiap kehidupan social. Kepercayaan memelihara keberlangsungan dalam masyarakat.
Kepercayaan memperbesar kemampuan manusia untuk bekerjasama, bukan didasarkan atas kalkulasi rasional kognitif melainkan melalui pertimbangan dari suatu ukuran penyangga antara keinginan dan harapan. Kerjasama tidak mungkin tidak terjalin kalau tidak didasarkan atas adanya saling percaya di antara anggota. Kepercayaan juga meningkatkan toleransi terhadap ketidakpastian.
Bentu kepercayaan dapat dilihat dari kemunculannya. Berdasarkan kemunculannya kepercayaan dapat dibagi atas kepercayaan askriptif dan kepercayaan prosesual. Kepercayaan askriptif muncul dari hubungan yang diperoleh berdasarkan cirri-ciri yang melekat pada pribadi seperti latar belakang kekerabatan, etnis, dan keturunan yang dimiliki. sedangkan kepercayaan prosesual muncul melalui proses interaksi social yang dibangun oleh para actor yang terlibat.
Teori Pertukaran
Homans mengakui bahwa manusia adalah makhluk social dan menggunakan sebagian besar waktunya untuk berinteraksi dengan orang lain. Is menerangkan bahwa perilaku manusia tidak berubah akibat interaksi lebih berasal dari manusia lain disbanding dari lingkungan fisik. Interaksi juga menimbulkan sesuatu yang baru yang dapat dijelaskan dengan prinsip psikologi. Menurut Homans perilaku social sebagai pertukaran aktivitas, nyata atau tidak nyata, dan kurang lebih sebagai pertukaran reward atau biaya, sekurang-kurangnya antara dua orang.
Homans membuat beberapa proposisi dalam menjelaskan perilaku manusia dalam teori pertukaran ini yakni proposisi sukses, proposisi pendorong, proposisi nilai, proposisi deprivasi- kejemuan, proposisi persetujuan-agresi, dan proposisi rasionalitas. Proposisi sukses, diterangkan bahwa jika seseorang mendapatkan reward dalam tindakannya yang khusus maka orang tersebut akan semakin sering melakukan tindakan khusus itu.
Dalam proposisi pendorong dijelaskan bahwa jika kejadian dimasa lalu dorongan tertentu menyebabkan tindakan seseorang mendapat reward, maka orang tersebut akan menginginkan dorongan serupa di masa kini dengan masa lalu dan makin besar kemungkinan orang tersebut melakukan tindakan serupa. Dalam proposisi nilai dijelaskan bahwa jika seseorang merasa sesuatu tindakan semakin bernilai bagi dirinya maka makin besar kemungkinan ia akan melakukan tindakan tersebut. Dalam proposisi deprivasi-kejemuan Homans menjelaskan bahwa semakin sering orang mendapat reward dalam waktu yang dekat dan teratur maka nilai reward berikutnya akan semakin berkurang. Dalam proposisi ini juga dijelaskan bahwa jika makin besar keuntungan yang diperoleh dari hasil tindakannya maka makin besar kemungkinan ia akan melakukan tindakan itu.
Sedangkan dalam proposisi persetujuan-agresi ada dua proposisi yakni jika seseorang tidak mendapat reward yang ia harapkan atau mendapat hukuman yang tidak diharapkan maka ia akan marah dan semakin agresiflah tindakannya berikutnya. Sedang proposisi lainnya adalah jika seseorang mendapat reward yang lebih dari yang ia harapkan atau tidak menerima hukuman yang ia bayangkan maka ia akan puas dan ia akan melakukan tindakan yang disetujui. Dalam proposisi rasionalitas, seseorang akan memilih salah satu tindakan alternative dari berbagai pilihan yang menurutnya paling bernilai, berpeluang untuk mendapatkan hasil yang lebih besar.
Homans menghubungkan proposisi rasionalitas dengan proposisi kesuksesan, dorongan, dan nilai. Proposisi rasionalitas menerangkan bahwa apakah orang akan melakukan tindakan atau tidak tergantung pada persepsi mereka mengenai peluang sukses. Akan tetapi yang menentukan persepsi ini ditentukan oleh kesuksesan dimasa lalu dan situasi masa kini. Pada akhirnya dapat diringkas bahwa actor adalah pencari keuntungan yang rasional.
Dalam teori pertukaran ada juga konsep nilai dan norma. Menurut Blau, mekanisme yang menengahi struktur social yang kompleks adalah norma dan nilai yang ada dalam masyarakat. Kesepakatan bersama atas nilai dan norma digunakan sebagai media kehidupan social dan sebagai matarantai hubungan social. Konsensus nilai mengganti pertukaran tidak langsung dengan pertukaran langsung. Seorang anggota menyesuaikan diri dengan norma kelompok dan mendapat pesetujuan karena penyesuaian diri mendapat persetujuan implicit karena memberikan kontribusi atas pemeliharaan dan stabilitas kelompok.
Nilai khusus dalam masyarakat dapat berfungsi sebagai media integrasi dan solidaritas. Nilai ini membantu mempersatukan seluruh anggota sebuak kelompok atau masyarakat berkenaan dengan suatu hal. Nilai dipandang sebagai kesamaan perasaan di tingkat kolektif yang mempersatukan individu atas dasar hubungan tatap muka. Nilai juga dapat memperluas ikatan pergaulan melampaui batas daya tarik personal saja. Nilai khusus juga membedakan orang kedalam dua kelompok yakni anggota kelompok atau bukan anggota. Dengan demikian, nilai ini memiliki kemampuan untuk meningkatkan fungsi integritas.
Asumsi dasar teori pertukaran adalah sebgai berikut:
a.Manusia adalah makhluk rasional, memperhitungkan untung dan rugi. Teori pertukaran melihat bahwa perilaku manusia terus-menerus terlibat dalam memilih di antara perilaku-perilaku alternative dengan pilihan mencerminkan biaya dan ganjaran yang diharapkan berhubungan dengan garis perilaku alternative itu. Tindakan social itu dipandang ekivalen dengan tindakan ekonomis. Suatu tindakan adalah rasional berdasarkan perhitungan untung dan rugi.
Dalam rangka interaksi social, actor mempertimbangkan keuntungan yang lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan. Oleh sebab itu, semakin tinggi ganjaran yang diperoleh makin besar peluang perilaku akan diulang. Sebaliknya, makin tingggi biaya atau ancaman yang akan diperoleh maka makin kecil kemungkinan perilaku yang sama akan diulang.
b.Perilaku pertukaran social dapat terjadi bila(1) perilaku tersebut berorientasi pada tujuan-tujuan yang hanya dapat dicapai melalui interaksi dengan orang lain,(2) perilaku harus bertujuan untuk memperoleh sarana bagi pencapaian tujuan-tujuan tersebut. Perilaku social terjadi melalui interaksi social yang mana pelaku berorientasi pada tujuan.
c.Transaksi-transaksi pertukaran terjadi hanya apabila pihak yang terlibat memperoleh keuntungan dari pertukaran tersebut.
Sebuah tindakan pertukaran tidak akan terjadi apabila dari pihak-pihak yang terlibat ada yang tidak mendapatkan keuntungan dari suatu transaksi perukaran. Keuntungan dari suatu pertukaran tidak hanya berupa materi tapi juga dapat berupa asimetri seperti kasih saying, kehormatan, keperkasaan dan sebagainya.
Pertukaran social tidak mungkin terjadi kalau satu pihak saja yang mendapat keuntungan, sedang pihak lain tidak mendapat apa-apa, apalagi justru mendapat kerugian. Hubungan persahabatan atau perkawinan tidak mungkin terjadi jika salah satu pihak merasa tidak ada keuntungannya atau merasa rugi akibat hubungan tersebut. Jadi hubungan akan tetap terjalin jika kedua belah pihak saling menguntungkan.
Teori Pilihan Rasional
Teori pilihan rasional mendasarkan gagasan bahwa tindakan perseorangan mengarah kepada suatu tujuan dan tujuan itu ditentukan oleh nilai atau pilihan. Ada dua unsure yang mendasari teori ini yakni sumber daya dan actor. Sumber daya adalah sesuatu yang menarik perhatian dan dapat dikontrol oleh actor.
Coleman mengakui bahwa dalam kehidupan nyata orang tidak selalu berperilakuasonal. Asumsinya dalah bahwa ramalan teoritis yang dibuat sebenarnya akan sama saja apakah actor bertindak tepat menurut rasionalitas seperti yang dibayangkan atau menyimpang dari cara-cara yang telah diamati. Dalam menjelaskan teori ini ia membuat pandekatan yakni perilaku kolektif dan norma. Ia memilih perilaku kolektif karena cirinya yang sering tidak stabil dan kacau sukar dianalisis dengan teori pilihan rasional. Namun, menurutnya teori pilihan rasional dapat menjelaskan fenomena tersebut. Apa yang menyebabkan perpindahan dari actor rasional ke berfungsinya system yang disebut perilaku kolektif yang liar dan bergolak adalah pemindahan sederhana pengendalian atas tindakan seorang actor k eke actor lain yang dilakukan secara sepihak bukan sebagai bagian pertukaran.
Mengapa orang secara sepihak memindahkan control atas tindakan kepada orang lain? Jawabannya adalah menurut teori pilihan rasional, mereka berbuat sedemikian dalam upaya memaksimalkan kepentingan mereka. Biasanya upaya memaksimalkan kepentingan individual itu menyebabkan keseimbangan control antara beberapa actor dan ini menghasilkan keseimbangan dalam masyarakat. Tapi dalam kasus perilaku kolektif, karena terjadi pemindahan control secara sepihak, upaya memaksimalkan kepentingan individu tak mesti menyebabkan keseimbangan system.
Norma. Meskipun norma dapat digunakan untuk menerangkan perilaku individu, namun tidak dapat menerangkan mengapa dan bagaimana cara norma itu terwujud. Menurut Coleman norma diprakarsai dan dipertahankan oleh beberapa orang yang melihat keuntungan yang dihasilkan dari pengamalan terhadap norma dan kerugian yang berasal dari pelanggaran norma itu. Orang ingin melepaskan pengendalian terhadap perilaku mereka sendiri, tetapi dalam proses, mereka memperoleh pengendalian melalui norma terhadap perilaku orang lain.
Actor dilihat berupaya memaksimalkan nilai guna mereka sebagian dengan menggerakkan hak untuk mengendalikan diri mereka sendiri, dan memperoleh hak untuk mengendalikan orang lain. Karena pemindahan pengendalian itu tidak terjadi secara sepihak maka dalam norma akan terjadi keseimbangan. Tapi terkadang norma berperan menguntungkan orang tertentu dan merugikan orang lain. Dalam kasus tertentu, actor menyerahkan hak untuk mengendalikan tindakan orang lain. Selanjutnya, keefektifan norma tergantung kepada kemampuan melaksanakan consensus itu. Consensus dan pelaksananyalah yang mencegah tanda-tanda ketidakseimbangan perilaku kolektif.
Coleman mengakui bahwa norma saling berkaitan. Ia melihat internalisasi norma memapankan system sanksi internal, actor member sanksi terhadap dirinya sendiri bila ia melanggar norma. Jadi seorang actor atau sekumpulan actor berupaya keras untuk mengendalikan actor lain dengan mengingatkan norma yang diinternalisasikan ke dalam diri mereka. Seorang actor berkepentingan untuk menyuruh actor lain menginternalisasikan norma dan mengendalikan mereka. Ia merasa bahwa hal ini adalah rasional karena upaya seperti itu dapat efektif.
Makna Makanan Terites dalam Kajian Sosiologis
Terites seperti yang telah dijelaskan di atas memiliki dua makna atau fungsi dalam masyarakat Karo antara lain makna kesehatan(persepsi masyarakat, bukan medis) dan makna budaya( meneruskan tradisi-tradisi). Secara makna kesehatan terites tersebut diyakini dapat mengobati berbagi penyakit( yang mereka definisikan sendiri). Dan makna budaya yaitu bagaimana terites dapat menggambarkan budaya atau tradisi agar tetap berjalan.
Bagaimana terites ini diyakini dapat mengobati beragam penyakit yang mereka definisikan? Seperti teori yang telah diuraikan diatas, dimana orang yang memberikan makanan tersebut adalah orang-orang yang memilkiki relasi atau hubungan dekat dengan mereka yang secara otomatis tidak akan diragukan. Misalnya jika seorang anak disuruh ibunya beribadah maka anak tersebut tanpa banyak alternative pikiran menyangkal orang tuanya atu membantahnya karena anak tersebut telah memiliki relasi yang begitu dekat sehingga si anak tanpa berpikir panjang akan melaksanakannya juga.
Demikian halnya orang Karo mempercayai itu dapat menyuembuhkan berbagai penyakit dimana orang yang menyatakan itu dapat menyembuhkan penyakit itu adalah saudara-saudara dekat mereka(gemainschalft) misalnya paman, mama, bibi dan banyak relasi dekat lainnya. Dan terpenting adalah makna terites sebagai obat ini akan terus diwariskan kepada generasi berikutnya oleh orang yang mendapatkan informasinya. Dan akan diwariskan ketika ada komunikasi( misalnya ada keluarga terkena penyakit maag, maka akan diberitahukan oleh keluarga dekat bahwa terites ampuh mengobati penyakit tersebut dan orang yang sakit tersebut akan percaya dengan argumentasi komunikator karena hubungan mereka yang dekat, hal ini dikarenakan pikiran mereka tidak mungkin keluarga dekat membohongi atau mencelakakan mereka).
Dalam makna budaya juga diikat oleh kepercayaan mereka atas apa yang telah mereka dapatkan(pertukaran) dan menetapkan pilihan bahwa itu sedemikian kebenarannya(pilihan). Terites ini ada pada saat-saat anggota keluarga besar berkumpul. Misalnya dalam kerja tahun(pesta tahunan) dimana keluarga besar yang telah jauh (tempat dan hubungan darah) juga masih diundang, misalnya sipemeren(anak dari persaudaraan nenek pihak perempuan) dan hubungan yang lain. Jadi dapat dijelaskan bahwa terites ini juga dapat mengikat hubungan. Perlu dijelaskan bahwa dari dulu lembu atau sapi adalah barang mahal yang jika hanya seorang saja yang menyandang dana akan susah membelinya. Oleh karena itu ketika semua keluarga besar berkumpul maka dana(biaya) akan cukup untuk memotong lembu dan membuat terites tersebut. Misalnya beberapa puluh keluarga memotong satu lembu baru mampu membelinya. Jadi dengan demikian terites secara tidak langsung telah membuat hubungan semakin erat dalam keluarga mereka.
Demikian misalnya pada pesta perkawinan orang Karo yang menyajikan makanan terites tersebut. Bagaimana secara social mereka dihubungkan oleh perasaan saling menolong. Orang yang mengadakan pesta(ekonomi menengah) akan mendapatkan utang yang banyak jika membuat pesta adat. Oleh karena itu maka dalam pesta dibuatlah terites sebagai lauk umum yang biayanya juga akan dibebankan bersama kepada seluruh undangan. Dalam suku Karo ada istilah pertama dalam setiap pesta adat, pertama ini berupa uang sumbangan yang secara symbol membantu pemilik pesta dalam hal biaya. Dengan demikian terites menjadi tradisi dalam setiap pesta perkawinan( tapi sekarang semakin jarang) untuk mengirit biaya dalam hal konsumsi dan demikian diwariskan secara terus-menerus.















Terites diambil dari rumen.


Gambar terites dalam bentuk siap saji

BAB III
PENUTUP
Dari hasil pembahasan diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan antara lain:
- Terites adalah makanan khas Karo yang terbuat dari sari makanan usus lembu yang dipadu dengan beragam bumbu memiliki makna tersendiri bagi masyarakat Karo.
- Makna terites dapat dibagi kedalam dua bagian yakni sebagai obat(terhadap penyakit yang didefinisikan oleh mereka) dan makna budaya( dalam acara-acara tertentu yang biasa dilakukan).
- Makna terites dalam masyarakat Karo dapat dianalisis dengan teori kepercayaan, pertukaran dan pilihan rasional.
- Makna terites dalam masyarakat Karo didasarakan atas kepercayaan masyarakat terhadap informasi yang telah diwariskan dari generasi ke generasi dan sebagai makna budaya, didasarkan atas pertukaran yang didapatkan, dimana setiap pesta adat mereka menjadi saling membantu dalam hal biaya karena dianggap memiliki uang keluar yang besar dengan menyajikan terites ini sebagai makanan dalam jamuan pesta tersebut.









Daftar Pustaka
Bujang, Ibrahim dkk. 1995. Makanan: Wujud Variasi dan Fungsi Serta Cara Penyajiannya pada Orang Melayu Jambi. Depdikbud.
Damsar. 2009. Pengantar Sosiologi Ekonomi. Jakarta: Kencana Media Group
Muzaham, Fauzi. 1995. Memperkenalkan Sosiologi Kesehatan. Jakarta: UI-Press
Ritzer, George dan Doglas J.G.. 2008. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana.
Sumber lain:
http://www.kampuskomunikasi.blogspot.com/2008/04/interpersonal-teori-kepercayaan.html.diakses8/4/2010-12.59P.M
http://www.onitblog.blogspot.com
http://www.kutaraya0405.wordpress.com
http://www.klikganda.blogspot.com
http://www.aksesories.blogspot.com/2007
http://www.id.wikipedia.org/wiki/makanan-diakses06.15P.M
http://www.perbesi.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar