Kamis, 06 Oktober 2011

Permasalahan Pertanian Karo(Secara Sosiologis)

Permasalahan Pertanian Kabupaten Karo
(Dalam Kacamata Sosiologi)
Latar Belakang
Masyarakat Karo tidak pernah terlepas dari kehidupan pertanian. Mayoritas penduduk Suku Karo adalah petani. Selain pertanian sebagai kegiatan ekonomi subsisten juga sebagai kegiatan pertanian profit. Suku Karo adalah pemegang andil terbesar dalam pertanian klasik di Sumatera Timur-Sumatera Utara. Anderson (dalam Peltzer 1978:21) mengatakan bahwa Suku karo adalah pengekspor lada terbesar pada tahun1800-an kemudian disusul oleh tembakau. Anderson kemudian mengatakan bahwa petani Karo adalah petani yang tangguh dan petani teladan karena pengalamannya yang melihat keuletan petani karo saat itu.
Pertanian modern(terutama jenis-jenis tanaman) pertama kali dikenalkan oleh para penginjil Zending Belanda ke dataran tinggi Karo. Hal tersebut dilakukan sebagai politik untuk mengurangi “pemberontakan Karo” di Karo Jahe(Peltzer:94 dan sumber online). Pada akhirnya pertanian itu berkembang dan terus berkembang. Produk yang paling terkenal dan pernah mencapai puncak kejaan ekspor adalah kol dan kentang ke Malaysia dan Singapura.
Pertanian di Kabupaten Karo mulai bergejolak ketika berhentinya ekspor ke dua negara jiran tersebut pada tahun 1960-an. Masalah terbesar yakni ketika krisis moneter pada 1997 secara perlahan membunuh pertanian di Karo. Masalah kemudian bertambah satu demi satu mulai dari harga, pupuk, pasar dan sebagainya.
Tinjauan Sosiologis Mengenai Permasalahan Pertanian Karo
1. Pasar atau Pemasaran
Masalah ini pertama kali menjadi kendala sejar permusuhan Indonesia dengan Malaysia, kemudian setelah perdagangan bebas Cina-ASEAN pada 2010. Permasalahan dalam hal ini adalah penguasaan pasar, selama ini produk pertanian Karo hanya dapat menembus pasar local(SUMUT) hal ini terutama untuk sayur dan bunga juga beberapa jenis buah. Sedangkan untuk beberapa jenis buah seperti jeruk dan markisa dapat menembus pasar Sumatera dan Jawa.
Produk pertanian Karo dalam hal ini harus gigih bersaing dengan lawan utamanya dari Cina. Jika tidak dapat melawan produk “Kalak Cina” tersebut maka produk pertanian Karo akan menjadi penonton.

Dalam hal ini perlunya promosi dan perluasan pasar. Menurut tinjauan sosiologis, sesuai dengan kondisi mayoritas masyarakat Karo adalah petani maka perlu dibentuk suatau badan atau komisi pada PEMKAB KARO khusus menangani pemasaran ini. Jika tidak terbentuk maka hal ini dapat dikatakan sebagai kelemahan struktur atau struktur pemerintahan yang mandul atau ‘salah tingkah.’ Karena hal ini berkaitan dengan harga yang akan dibahas di bagian berikutnya. Selain itu dapat dengan mencari pasar baru di luar SUMUT oleh calon distributor baru hal ini akan sama-sama menguntungkan antara petani dan distributor(sebagai usaha baru).

2. Harga
Harga produk pertanian berkaitan dengan untung rugi kegiatan pertanian. Selama ini sejauh pengamatan penulis bahwa permasalahan harga di Karo adalah fluktuasi yang sangat tajam. Hari ini dapat sangat mahal beberapa hari kemudian bisa-bisa tidak laku. Hal ini berkaitan dengan jumlah produksi pertanian dan pasar. Saat ini ada kecendrungan di kalangan petani Karo apa yang mahal di pasaran maka akan menjadi primadona untuk ditanam.(Kasus cabai merah tahun 2010 dan 2011-pada tahun 2010 harga tertinggi di beberapa pasar tradisional adalah Rp.55.000,- di oktober sampai puncaknya januari 2011. Bandingkan kemudian pada maret 2011 harga cabai bahkan hanya Rp.6000,-/kg perbandingannya adalah 9:1)

Kelanjutan dari pembahasan ‘pasar’ diatas jika ada badan yang mengaturnya maka harga dapat terkontrol dimana ketika produksi mebludak badan tersebut dapat menampungnya dan menyalurkannya kembali ketika produksi menyusut. Selain itu perlunya kesadaran petani untuk memperkaya jenis tanaman dengan mempelajari daerah per kecamatan dengan produk pertanian yang dihasilkan. Misalnya daerah Kecamatan Merek adalah penghasil cabai dan kentang terbesar maka di daerah Tiga Binanga tidak perlu menanam jenis tersebut tapi dapat menanam jagung misalnya.

Selain hal tersebut dalam hal ini juga perlunya “INFORMASI”. Mengapa perlu? Harga produk pertanian berkaitan dengan informasi yang diketahui oleh para petani, seperti informasi perkembangan harga, informasi jumlah produk pertanian di Karo, informasi cuaca dan prediksi cuaca. Dalam hal ini perlunya kerjasama berbagai instansi terkait seperti Dinas Kominfo, BPS KARO, BMKG SUMUT, radio daerah dan persuratkabaran daerah. Disinilah pentingnya sebuah jaringan antar orang Karo jika menginginkan orang Karo menjadi penguasa pertanian kembali.


3. Pupuk
Persoalan pupuk menjadi gunjang-gunjing setelah era reformasi ditandai dengan kenaikan harga pupuk yang sangat tinggi. Pada akhirnya pemerintah mengeluarkan pupuk bersubsidi (Urea, Phonska, ZA, SP dan Organic Fertilizer). Permasalahannya kemudian adalah jumlah pupuk yang diberikan. Bisa dikalkulasikan, jika sebatang jeruk usia 7 tahun membutuhkan pupuk sebanyak 5kg (NPK-dianggaplah pupuk subsidi sudah memenuhi unsure tersebut sesuai jumlah yang dibutuhkan) maka hanya cukup untuk 40 batang jeruk/ 1 paket subsidi-panduan USAID AMARTA). Oleh karenanya petani tetap membeli pupuk nonsubsidi, masalahnya kembali kepada harga pupuk yang mahal dan kembali ke persoalan jumlah untung rugi. Masalah ini tidak begitu terasa bagi petani besar atau pemilik modal yang besar. Apakah semua petani Karo petani bermodal besar?

Solusi sejauh ini adalah pengenalan pupuk organik(bokasi). Suku Karo memang mengenal pupuk organic sejak dulu yang dinamai dengan berbagai jenis seperti taneh kerangen, taneh pinugun, perabun, kubang(pupuk kandang). Ternyata pertanian modern memiliki cara tersendiri agar penggunaan pupuk organic dapat optimal. Masalahnya dari manakah petani dapat mengetahui hal tersebut? Dalam hal ini perlu kiranya berbagai pihak segera bergegas, misalnya kaum intelektual bergabung dengan sarana informasi daerah(pemerintah terkait dengan surat kabar yang ada di daerah). Sistemnya jangan seperti permainan petasan yaitu ketika dibakar langsung dilemparkan, tapi harus seperti bahan bakar dalam mesin terus mengalir.
4. Pengetahuan
Hal ini berkaitan dengan permasalahan 1, 2, 3 dimana bertani itu adalah sama seperti kehidupan manusia yaitu long life education. Dari manakah seseorang dapat belajar? Bisa secara formal bisa juga secara nonformal ataupun informal. Secara formal yaitu dari penyuluhan pertanian(pemerintah atau insntansi), secara nonformal yaitu pelatihan, seminar, sekolah lapangan. Sedangkan secara informal dapat dari pengalaman pribadi.

Ketika masyarakat Karo dikenalkan dengan berbagai varietas modern maka perlu banyak belajar tentang jenis tanaman tersebut. Di era modernisasi saat ini jika pengetahuan dari pengalaman pribadi(informal) maka akan kalah cepat dalam bersaing dengan petani lain. Apa yang penting dalam hal ini? Jawabannya partisipasi. Kajian ini lebih cenderung melihat kepada kajian struktur dan jaringan jadi menurut penulis disini perlu pemerintah mengalirkan ‘pengetahuan’ tersebut dan perlunya juga petani menyisihkan waktu untuk belajar pengetahuan tersebut. Lagi. Lagi jaringan pemerintah, cendekiawan Karo, media massa perlu dimanfaatkan.

Pemerintah dan Suku Karo memang mulai krisis “kepercayaan” saat ini. Petani tidak tahu lagi harus mempercayai siapa. Bahkan sesama petani dalam satu kampung sekalipun mereka tidak percaya karena adanya perasaan takut disaingi, ACC, pelit ilmu. Pemerintah juga demikian, masyarakat Karo seolah-olah dapat berkembang dan maju tanpa pemerintah. Kalau demikian apalah guna PEMKAB KARo, lebih baik dibubarkan saja. Seperti control pestisida dan pupuk palsu, disini tidak mungkin petani yang harus buka labolatorium untuk menelitinya. Masyarakat Karo adalah masyarakat yang sangat terbuka tapi sekali dibohongi maka akan selamanya kepercayaan itu menghilang. Hal tersebutlah yang terjadi ketika pupuk palsu beredar pada tahun 2000-an. Krisis kepercayaan. Pada akhirnya sikap ACC yang dimiliki masyarakat(sekalipun sedikit) dengan munculnya sikap instan/modenisasi dan individualism maka kepercayaan itu semakin menipis di kalangan orang Karo. Adi la aku, ise pe ula(Kalau bukan aku, maka siapapun tidak).

Rasa kepercayaan ini dapat ditumbuhkan kembali, dengan penguatan identitas Karo. Rasa solidaritas dan kekeluargaan Karo dapat menjadi acuan untuk menumbuhkan “kepercayaan” dan struktur yang baik dalam pertanian Karo. Masalahnya, siapa yang mau lebih dulu menumbuhkan kepercayaan terebut? Jawabannya juga harus secara bersama-sama, pemerintah bergerak dari instansinya, masyarakat bergerak dari rumahnya dan bertemu di lapangan pertanian.

5. Hal yang perlu diperhatikan(SARAN)
5.1 Perlunya suatu komisi atau badan di PEMKAB KARO khusus menangani pertanian(bukan dinas pertanian). Mengapa? Karena berdasarkan sensus pertanian tahun 2003, 70,93% penduduk Karo adalah keluarga petani(Karo dalam angka 2006). Tidak perlu ragu lagi sebenarnya bagi pemerintah untuk melakukan peperangan utamanya dalam hal pertanian.
5.2 Perlunya kerjasama/jaringan antar sektor. Jaringan yang perlu dibangun teresbut adalah

5.3 Penanaman kembali rasa kepercayaan dalam masyarakat Karo. Caranya dengan:
5.3.1 Pemerintah memiliki kinerja yang dapat dipercaya dan ambisi untuk memajukan pertanian Karo.
5.3.2 Peningkatan rasa “kekaroan” baik di keluarga, maupun perlunya kelompok-kelompok/organisasi yang menguatkan rasa Karo. Seperti organisasi pemuda, kelompok seni/budaya dan sebagainya.



Sumber referensi
Pelzer, Karl J.1978. Toean Keboen dan Petani. Jakarta: Sinar Harapan.
Kabupaten Karo dalam Angka 2006.BPS Kabupaten Karo.
Panduan Pertanian Jeruk Siam Madu Karo. USAID-AMARTA.
www.waspadaonline.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar